Definisi
Hukum-Hukum dalam Pembangunan
Teori Hukum Pembangunan Mochtar
Kusumaatmadja juga memakai kerangka acuan pada pandangan hidup masyarakat serta
bangsa Indonesia yang meliputi struktur, kultur, dan substansi, yang
sebagaimana dikatakan oleh Lawrence F. Friedman. Pada dasarnya
memberikan dasar fungsi, hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan hukum
sebagai suatu sistem yang sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai
Negara yang sedang berkembang.
Dimensi dan ruang lingkup Teori
Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja adalah merupakan modifikasi dan
adaptasi dari Teori Roscoe Pound yaitu “Law as a Tool of
Social Engineering”. Selain itu, Teori Hukum Pembangunan Mochtar
Kusumaatmadja juga dipengaruhi cara berfikir Herold D. Laswell
dan Myres S. Mc Dougal (Policy
Approach). Kemudian teori dan cara berfikir tersebut disesuaikan dengan
kondisi yang ada di Indonesia.
Laswell dan Mc. Dougal, dalam pemikiran mereka menyatakan
bahwa betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis dan penstudi
pada umumnya serta pengemban hukum praktis dalam proses melahirkan suatu
kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis, namun di sisi
lainnya juga bersifat mencerahkan. Selain itu dalam Teori Hukum Pembangunan
Mochtar Kusumaatmadja ditambahkan adanya tujuan Pragmatis (demi
pembangunan) sebagaimana masukan dari Roscoe Pound dan Eugen
Ehrlich. Dari hal-hal tersebut, terdapat korelasi antara pernyataan Laswell
dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan pengemban
hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum, teori yang
mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Mochtar Kusumaatmadja juga
secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat menjadi hukum sebagai
sarana, untuk membangun masyarakat.
Prioritas Pembangunan Nasional dalam
Bidang Infrastruktur
1.1 Latar Belakang
Pembangunan
infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat
proses pembangunan nasional. Infrastruktur juga memegang peranan penting
sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju
dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat pisahkan dari ketersediaan
infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh
karena itu, pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi
selanjutnya.
Pembangunan
infrastruktur suatu negara harus sejalan dengan kondisi makro ekonomi negara
yang bersangkutan, dalam 30 tahun terakhir ditengarai pembangunan ekonomi
Indonesia tertinggal akibat lemahnya pembangunan infrastruktur. Menurunnya
pembangunan infrastruktur yang ada di Indonesia dapat dilihat dari pengeluaran
pembangunan infrastruktur yang terus menurun dari 5,3% terhadap GDP (Gross
Domestic Product) tahun 1993/1994 menjadi sekitar 2,3% (2005 hingga sekarang).
Padahal, dalam kondisi normal, pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur bagi
negara berkembang adalah sekitar 5-6 % dari GDP.
Belanja infrastruktur
di daerah juga dapat dikatakan sangat kecil, walaupun sejak dilakukannya
desentralisasi/otonomi daerah, pengeluaran pemerintah daerah untuk
infrastruktur meningkat, sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk
infrastruktur mengalami penurunan yang drastis. Ini merupakan suatu persoalan
serius, karena walaupun pemerintah pusat meningkatkan porsi pengeluarannya
untuk pembangunan infrastruktur, sementara pemerintah daerah tidak menambah
pengeluaran mereka untuk pembangunan infrastruktur di daerah masing-masing,
maka akan terjadi kepincangan pembangunan infrastruktur antara tingkat nasional
dan daerah, yang akhirnya akan menghambat kelancaran investasi dan pembangunan
ekonomi.
Semakin kurangnya
pengeluaran terhadap infrastruktur membuat dengan sendirinya cakupan dan mutu
pelayanan infrastruktur menjadi rendah. Contohnya, dalam hal jalan, jalan raya
masih sangat terbatas yang hanya 1,7 km per 1000 penduduk, dan hampir 50% dalam
kondisi buruk karena sangat kurangnya pemeliharaan yang baik, terutama di jaringan
jalan kabupaten. Hal ini menambah kemacetan lalu lintas setiap tahun, sementara
kapasitas jalan yang ditambahkan sedikit. Pengeluaran pemerintah di subsektor
ini terus menurun, dari 22% tahun 1993 ke 11% dari anggaran pemerintah tahun
2000. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil kondisi jalan raya yang
buruk atau kurangnya sarana jalan raya bisa menjadi penghambat serius
pertumbuhan investasi.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari prioritas pembangunan nasional dalam bidang infrastruktur adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui
dampak positif yang ditimbulkan dari prioritas pembangunan nasional dalam
bidang infrastruktur bagi indonesia
2. Mengetahui
perkembangan pembangunan infrastruktur di indonesia
3. Mengetahui
proyek infrastruktur yang tertunda
1.3 Pembahasan
Pembahasan
dari prioritas pembangunan nasional dalam bidang infrastruktur adalah akan
diuraikan sebagai berikut :
1. DAMPAK POSITIF PRIORITAS PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM BIDANG INFRASTRUKTUR
BAGI INDONESIA
Bagi Indonesia,
infrastruktur merupakan salah satu motor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional
dan peningkatan daya saing di dunia internasional, disamping sektor lain
seperti minyak dan gas bumi, jasa keuangan dan manufaktur.
Melalui
kebijakan dan komitmen pembangunan infrastruktur yang tepat, maka hal tersebut
diyakini dapat membantu mengurangi masalah kemiskinan, mengatasi persoalan
kesenjangan antar-kawasan maupun antar-wilayah, memperkuat ketahanan pangan,
dan mengurangi tekanan urbanisasi yang secara keseluruhan bermuara pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Istilah umumnya
merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan
struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa:jalan ,kereta api,air
bersih, bandara, kanal, waduk tanggul, pengelolahan limbah, perlistrikan,
telekomunikasi, Pelabuhan.secara fungsional, infrastruktur selain
fasilitasi,dapat pula mendukung berupa kelancaran aktifitas ekonomi masyarakat,
distritibusi aliran produksi barang dan jasa sebagai contoh bahwa jalan dapat
melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk
distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat.
Pembangunan
infrastruktur pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai 3 (tiga) strategic goals yaitu:
1. Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan
memperluas lapangan kerja;
2. Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kota dan desa, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi desa dan meningkatkan akses infrastruktur bagi
pertumbuhan ekonomi lokal;
3. Meningkatkan
kualitas lingkungan, yang bermaksud untuk mengurangi luas kawasan kumuh,
perdesaan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, dan pulau-pulau kecil.
2. PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI
INDONESIA
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia di angka 4,73 persen per September 2015 masih jauh dari harapan,
terutama karena Indonesia membutuhkan pertumbuhan minimal 7 persen agar dapat
menjadi negara maju pada tahun 2025. Dengan menganut semangat percepatan,
pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya dalam rangka mendorong
investasi untuk beragam sektor terkait infrastruktur. Perbaikan dalam regulasi,
fiskal, dan kelembagaan telah dilakukan guna mendorong pencapaian milestones proyek prioritas.
Penyediaan
infrastruktur di Indonesia berjalan lambat karena adanya kendala di berbagai
tahapan proyek, mulai dari penyiapan sampai implementasi. Secara keseluruhan,
lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan seringkali mengakibatkan
mundurnya pengambilan keputusan. Pada tahap penyiapan, terdapat masalah akibat
lemahnya kualitas penyiapan proyek dan keterbatasan alokasi pendanaan.
Selanjutnya, proyek sering terkendala masalah pengadaan lahan yang berakibat
pada tertundanya pencapaian financial close untuk proyek KPBU. Selain itu, dari
sisi pendanaan sering muncul masalah terkait tidak tersedianya dukungan fiskal
dari Pemerintah akibat ketidaksesuaian atau ketidaksepakatan atas pembagian
risiko antara Pemerintah dan Badan Usaha. Selain dukungan fiskal, keterbatasan
jaminan Pemerintah yang dapat diberikan pada proyek infrastruktur juga
menurunkan minat investasi di Indonesia.
Gambar 1 Perkembangan
dukungan untuk infrastruktur di Indonesia
Di tahun 2015,
Pemerintah telah giat menyusun dan menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi yang
mencakup perbaikan kebijakan dan peraturan untuk mendorong perekonomian
Indonesia, termasuk di dalamnya perumusan Peraturan Presiden tentang Proyek
Strategis Nasional dan Peraturan Presiden tentang Pengembangan dan Pembangunan
Kilang Minyak di Dalam Negeri. Dalam sisi kebijakan fiskal, Pemerintah telah
menyediakan fasilitas direct lending ke BUMN dan fasilitas availability payment
dari APBN yang diharapkan dapat meningkatkan kelayakan proyek. Selain itu,
perbaikan di sisi kelembagaan dapat dilihat dengan adanya peleburan antara PT
Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dengan Pusat Investasi Pemerintah disertai
dengan pengembangan mandat PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII)
Meskipun
upaya-upaya Pemerintah tersebut telah memberikan dampak positif untuk
penyediaan infrastruktur dan menarik investasi Badan Usaha, perlu disadari
bahwa perbaikan lebih lanjut dari sisi regulasi, fiskal, dan kelembagaan masih
sangat dibutuhkan.
A. PERKEMBANGAN PERBAIKAN REGULASI UNTUK
MENDUKUNG PROYEK INFRASTRUKTUR
Berikut
merupakan ringkasan dari upaya–upaya perbaikan regulasi yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia selama tahun 2015 dalam rangka menciptakan iklim
percepatan penyediaan infrastruktur di Indonesia:
Gambar 2 Perbaikan
regulasi dalam percepatan penyediaan infrastruktur di Indonesia
2.
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PROYEK
STRATEGIS NASIONAL (PSN)
Meskipun
pemerintah di tingkat pusat telah mengeluarkan kebijakan yang positif tentang
infrastruktur, pelaksanaannya seringkali terhambat oleh kendala di lapangan.
Mengingat penyediaan infrastruktur perlu dilakukan tepat waktu dibutuhkan
pemberian fasilitas tambahan dalam rangka mempercepat pembangunan proyek yang
dianggap memiliki kepentingan strategis nasional. Fasilitas yang diberikan
adalah keistimewaan dalam perizinan dan non-perizinan, pengadaan pemerintah,
pengadaan tanah, kandungan lokal, debottlenecking, tata ruang, dan jaminan
pemerintah. Peraturan Presiden ini melampirkan daftar proyek yang dapat
menerima fasilitas dan keistimewaan sebagaimana diatur dalam batang tubuh
peraturan. KPPIP berperan dalam memilih proyek strategis nasional yang
dilakukan dengan berkonsultasi dengan kementerian/lembaga/pemerintah daerah
yang menjadi penanggung jawab proyek. Daftar tersebut terdiri dari 225 proyek
dan 1 program ketenagalistrikan.
Peraturan
Presiden No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional dan Instruksi Presiden No. 6 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek
Strategis Nasional telah diterbitkan pada bulan Januari 2016.
3.
REVISI PERATURAN PRESIDEN TENTANG
PENUGASAN HUTAMA KARYA UNTUK PEMBANGUNAN JALAN TOL TRANS SUMATRA
Berdasarkan
Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015 yang merupakan revisi dari Peraturan
Presiden No. 100 Tahun 2014, terdapat 24 ruas jalan tol dari Bakauheni hingga
Banda Aceh yang akan diadakan dalam rangka mempercepat pembangunan jalan tol di
Sumatera. Pembangunan tahap pertama diprioritaskan terhadap 8 ruas jalan tol,
yang meliputi 4 ruas yang diatur pada Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014,
yaitu ruas Jalan Tol Medan – Binjai, Palembang – Simpang Indralaya, Pekanbaru –
Dumai, dan Bakauheni – Terbanggi Besar, dan 4 ruas jalan tol tambahan, yaitu
ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang, Pematang Panggang – Kayu Agung,
Palembang – Tanjung Api-api, dan Kisaran – Tebing Tinggi. Prioritas pengusahaan
tahap berikutnya ditetapkan oleh Menteri PUPR berdasarkan hasil evaluasi.
Pemerintah
menugaskan pengusahaan jalan tol Trans Sumatera yang disebutkan sebelumnya
kepada PT Hutama Karya (Persero) dimana penugasan mencakup pelaksanaan
pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan
pemeliharaan, dengan masa konsesi selama 40 tahun. Dalam pelaksanaannya,
pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tol ini dilakukan paling lambat pada
akhir tahun 2019.
4.
PERATURAN PRESIDEN TENTANG NO.146 TAHUN
2015 TENTANG PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN KILANG MINYAK DI DALAM
NEGERI
Sebagai bagian
dari Paket Kebijakan Ekonomi VIII dan dalam rangka mendukung proyek prioritas
KPPIP, yaitu pembangunan kilang minyak dalam negeri, maka telah dikeluarkan
Peraturan Presiden No. 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan
Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
Peraturan ini
menjadi panduan pelaksanaan dan upaya percepatan yang dapat dilakukan jika
proyek kilang minyak akan dilakukan oleh Pemerintah dengan skema KPBU atau
penugasan, dan Badan Usaha. Selain itu, Peraturan Presiden juga memberikan
ruang kepada PT Pertamina untuk menjadi PJPK apabila proyek menggunakan skema
KPBU. Selanjutnya, Peraturan Presiden juga mengatur tentang insentif yang dapat
diberikan oleh Pemerintah Indonesia dan pihak yang bertindak sebagai pembeli
bahan bakar (offtaker).
5.
PERATURAN KEPALA LKKP NO. 19 TAHUN 2015
TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGADAAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN
INFRASTRUKTUR
Peraturan
Presiden No. 38 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur membutuhkan beberapa peraturan turunan untuk
mendukung implementasi KPBU di Indonesia, yaitu peraturan terkait pembayaran
ketersediaan layanan (availability payment) dan pengadaan badan usaha
pelaksana.
Sebagai tindak
lanjut, telah diterbitkan Peraturan Kepala LKPP No. 19 tahun 2015 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur pada
September 2015 yang mengatur pengadaan Badan Usaha penyiapan dan Badan Usaha
pelaksana proyek KPBU, dalam pengadaan badan usaha pelaksana, pengadaan
bertujuan untuk memilih badan usaha yang akan menjadi mitra kerjasama bagi PJPK
untuk melaksanakan proyek KPBU. Untuk pemilihannya, dapat dilakukan metode
lelang dengan prakualifikasi atau penunjukan langsung. Penunjukan langsung
dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Dengan adanya penunjukan langsung
diharapkan kegagalan lelang dapat dimitigasi dan proses pengadaan dapat
dipercepat.
6.
DUKUNGAN YANG DIBERIKAN KPPIP UNTUK
PENYUSUNAN DAN REVISI PERATURAN
Berdasarkan
Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2014, KPPIP memiliki mandat untuk melakukan
pendampingan, memfasilitasi, mengoordinasikan, memberikan rekomendasi perubahan
dan/atau penerbitan baru peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk
percepatan penyediaan infrastruktur, termasuk menyelesaikan hambatan yang
timbul dalam pelaksanaannya. Sesuai dengan mandat yang diberikan, beberapa kegiatan
dilakukan oleh KPPIP untuk menyusun dan merevisi peraturan perundang – undangan
yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur.
B.
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN FISKAL
1.
PEMBAYARAN KETERSEDIAAN LAYANAN
(AVAILABILITY PAYMENT)
Peraturan
Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang KPBU memberikan landasan hukum atas
pembayaran ketersediaan layanan (availability payment). Availability payment
adalah pembayaran secara berkala oleh PJPK kepada badan usaha atas tersedianya
layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan kriteria yang telah
ditentukan dalam kontrak KPBU. Availability payment diharapkan dapat
meningkatkan kelayakan proyek untuk menarik minat investor.
Pada bulan
Oktober 2015, Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
No. 190/PMK.08/2015 untuk mengatur mekanisme pembayaran availability payment
yang bersumber dari APBN. Selanjutnya akan disusun Peraturan Menteri Dalam
Negeri untuk mengatur mekanisme pembayaran availability payment dari dana APBD.
2.
JAMINAN PEMERINTAH UNTUK PINJAMAN
LANGSUNG (DIRECT LENDING)
Penjaminan
proyek masih berfokus kepada skema KPBU atau APBN/APBD saja. Akan tetapi,
pemerintah telah mengembangkan penjaminan untuk proyek yang menerima pinjaman
langsung dari lembaga keuangan internasional sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2015.
Dengan adanya
Peraturan Menteri Keuangan No. 189/PMK.08/2015, maka cakupan proyek yang dapat
menerima jaminan pun diperluas dengan mengikutsertakan proyek yang ditugaskan
kepada BUMN melalui Peraturan Presiden atau kepemilikannya 100% milik
pemerintah.
3.
DANA PENYIAPAN PROJECT (PROJECT
DEVELOPMENT FUND)
Implementasi
skema pendanaan KPBU masih terbatas saat ini karena belum siapnya keahlian dan
pendanaan khusus untuk penyiapan proyek yang berkualitas sebagaimana dibutuhkan
untuk kesuksesan proyek KPBU. Mengingat pentingnya skema KPBU untuk
meningkatkan investasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, Kementerian
Keuangan telah membentuk Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan
Pembiayaan Infrastruktur (PPP Unit) untuk memberikan bantuan teknis dan
pendanaan sebagaimana telah dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 75 Tahun
2014. Fasilitas ini dibiayai melalui Dana Penyiapan Proyek yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 265/PMK.08/2015.
C.
PERKEMBANGAN TERKAIT KELEMBAGAAN
1.
PENAMBAHAN MODAL KEPADA PT SARANA MULTI
INFRASTRUKTUR (PT SMI)
Kementerian
Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 232/PMK.06/2015 tentang
Pelaksanaan Pengalihan Investasi Pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah
menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Perusahaan Perseroan Sarana Multi
Infrastruktur (PT SMI) yang menjadi dasar penambahan modal PT SMI sebesar Rp
18,4 Triliun. Sebelum penambahan modal tersebut, penyertaan modal Pemerintah di
PT SMI hanya terbatas pada Rp 2 Triliun.
Bersama dengan
PMN tersebut, PT SMI telah mengembangkan perannya menjadi pusat pembiayaan
infrastruktur di Indonesia dengan kapasitas untuk memberikan pendanaan kepada
BUMN, BUMD, dan Pemerintah Daerah dalam pengembangan infrastruktur.
2.
PENGEMBANGAN FASILITAS PT PENJAMINAN
INFRASTRUKTUR INDONESIA (PT PII)
Pemberian
penjaminan Pemerintah merupakan salah satu faktor penting untuk menarik
investasi pada proyek. Akan tetapi, penjaminan selama ini hanya dapat diberikan
pada proyek dengan skema KPBU.
Melalui
penerbitan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2015 tentang Jaminan Pemerintah
Pusat atas Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga
Keuangan Internasional kepada BUMN, maka cakupan proyek yang dapat memperoleh
jaminan pun diperluas. Penjaminan ini dapat diberikan kepada BUMN dimana modal
atau kepemilikan saham seluruhnya dimiliki oleh Pemerintah. Pemberian jaminan
juga diberikan kepada BUMN yang telah diberikan penugasan melalui Peraturan
Presiden. Oleh karena itu, jumlah proyek yang dapat diberikan penjaminan oleh
PT PII pun dapat bertambah.
Dengan adanya
perbaikan dan inisiatif baru yang dilakukan Pemerintah dalam kebijakan
regulasi, skal, dan kelembagaan, diharapkan agar kendala yang dihadapi dalam
penyediaan infrastruktur dapat diatasi sehingga keputusan percepatan yang
dilakukan di tingkat pemerintah pusat dan daerah dapat segera terlaksana.
3.
PROYEK INFRASTRUKTUR YANG TERTUNDA
Bappenas
menyatakan ada 12 proyek kerjasama Pemerintah-Swasta atau public-private
partnership (PPP) yang sedang dikerjakan atau tahap konstruksi tahun ini
senilai Rp 93,81 triliun. Angka tersebut meningkat dari tahun 2016 sebanyak 7
proyek konstruksi Rp 86,61 triliun.
Dari 12 proyek
tersebut paling banyak berada di sektor hard infrastructures seperti energi,
pembangkit listrik dan transportasi (jalan tol). Serta proyek infrastruktur
sosial seperti rumah sakit, komplek olah raga dan lainnya.
Pembangunan
infrastruktur ini tersebar di beberapa daerah, misalnya di Jawa Timur proyek
Umbulan, Medan proyek rumah sakit, dan lainnya. Beberapa proyek yang telah
jalan ada yang telah diinisiasi lembaga, Kementerian, dan Pemda.
Namun,
pemerintah mengakui skema Public-Private Partnership (PPP) ini kurang berjalan lancar. Menurut Bastary,
ada berbagai masalah yang menghambat realisasi proyek PPP. Pertama adalah belum
adanya komando atau koordinator utama yang berkedudukan di bawah presiden untuk
menangani proyek skema PPP. Saat ini, proyek PPP hanya di bawah payung direktur
di bawah deputi. Padahal proyek KPS melibatkan banyak Kementerian/Lembaga. Kemudian
perlu institusi yang review dan evaluasi pelaksanaan investasi PPP. Masalah
kedua adalah lahan. Contohnya adalah proyek PLTU Batang, Jawa Tengah.
Penyelesaiannya ialah alokasikan dana untuk lahan, membuat task force, dan
membuat satgas khusus. Kemudian ada regulasi, pembiayaan, lahan, delivery
mechanism. Ini harus dibenahi. Kebutuhan dana untuk proyek infrastruktur hingga
2019 mencapai Rp 4.400 triliun. Sebanyak 36% akan dibiayai melalui skema PPP.
Dalam hal ini
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menghentikan beberapa proyek
infrastruktur. Langkah ini diambil karena pemerintah ingin mengurangi impor
material. Selama ini neraca perdagangan Indonesia masih defisit karena nilai
impor lebih besar dibandingkan ekspor. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pemerintah akan mengecek
terlebih dulu proyek-proyek yang kandungan impornya tinggi.
1. Salah
satunya pembangkit listrik, tapi yang belum disepakati pembiayaannya.
2. Penghentian
itu tidak berlaku bagi proyek-proyek infrastruktur yang sudah jalan atau telah
disepakati pembiayaannya.
3.
Jika proyek infrastruktur memang
harus menggunakan bahan material impor, tapi tidak besar dan tidak ada produk
penggantinya di dalam negeri, maka tetap jalan.
Fungsi &
Peran APBN
Fungsi dan Peran APBN adalah sebagai berikut:
a.
APBN sebagai alat mobilisasi
dana investasi
APBN di
negara-negara sedang berkembang adalah sebagai alat untuk memobilisasi dana
investasi dan bukannya sebagai alat untuk mencapai sasaran stabilisasi jangka
pendek. Oleh karena itu besarnya tabungan pemerintah pada suatu tahun sering
dianggap sebagai ukuran berhasilnya kebijakan fiskal Baik pengeluaran maupun
penerimaan pemerintah mempunyai pengaruh atas pendapatan nasional. Pengeluaran
pemerintah dapat memperbesar pendapatan nasional (expansionary), tetapi penerimaan pemerintah dapat mengurangi
pendapatan nasional (contractionary).
b.
APBN sebagai alat Stabilisasi Ekonomi
1.
Pemerintah menentukan beberapa
kebijaksanaan di bidang anggaran belanja dengan tujuan mempertahankan
stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Anggaran belanja
dipertahankan agar seimbang dalam arti bahwa pengeluaran total tidak melebihi
penerimaan total
2.
Tabungan pemerintah diusahakan
meningkat dari waktu ke waktu dengan tujuan agar mampu menghilangkan
ketergantungan terhadap bantuan luar negeri sebagai sumber pembiayaan
pembangunan.
3.
Basis perpajakan diusahakan
diperluas secara berangsur-angsur dengan cara mengintensifkan penaksiran pajak
dan prosedur pengumpulannya .
4.
Prioritas harus diberikan
kepada pengeluaran-pengeluaran produktif pembangunan, sedang
pengeluaran-pengeluaran rutin dibatasi. Subsidi kepada perusahaan-perusahaan
negara dibatassi.
5.
Kebijaksanaan anggaran
diarahkan pada sasaran untuk mendorong pemanfaatan secara maksimal
sumber-sumber dalam negeri
Struktur
& Susunan APBN
Struktur APBN terdiri dari
pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer,
surplus/defisit, dan pembiayaan. Sejak Tahun 2000, Indonesia telah menguba
komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik
keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).
1. Pendapatan Negara dan Hibah.
Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara
umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak
pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan
(bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari
APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari
sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya,
walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total
penerimaananggaran,jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya
Berbeda dengansistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada system
penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap
sebagai bagian dari penerimaan. Dalam pengadministrasian penerimaan negara,
departemen/lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara
langsung untuk membiayai kebutuhannya.Beberapa pengeculian dapat diberikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
2. Belanja Negara.
Belanja negara terdiri atas anggaran belanja
pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana
penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah
pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No.
17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan
antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri
atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan provinsi Papua.
3. Defisit dan Surplus.
Defisit atau surplus merupakan selisih antara
penerimaan dan pengeluaran.Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut
defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus.Sejak
Tahun 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran
berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan
primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overallbalance). Keseimbangan
primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran
bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk
pembayaran bunga.
4. Pembiayaan.
Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran.
Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam
negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang
merupakan selisihantara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri.
Prinsip-prinsip
dalam APBN
Prinsip Anggaran Defisit
Bedanya dengan prinsip anggaran
berimbang adalah bahwa pada anggaran defisit ditentukan :
(1) Pinjaman
LN tidak dicatat sebagai sumber penerimaan melainkan sebagai sumber pembiayaan.
(2) Defisit
anggaran ditutup dengan sumber pembiayaan DN + sumber pembiayaan LN (bersih)
Sebagai perbandingan dapat
diringkas sebagai berikut :
Anggaran Defisit Anggaran Berimbang
PNH – BN = DA
PDN – PR = TP
DA = PbDN +
PbLN
DAP = AP – TP
PbDN = PkDN + Non – Pk DN
PbLN = PPLN – PC PULN
Keterangan
:
Keterangan :
PNH = pendapatan
negara
PDN = Pendapatan DN
dan hibah
PR
= pengeluaran rutin
BN =
belanja negara
TP = tabungan pemerintah
DA =
defisit Anggaran
DAP = defisit anggaran pembangunan
PbDN = pembiayaan DN
AP = anggaran pembangunan
PkDN = Perbankan
DN
BLN = bantuan luar negeri
Non-PkDN = Non-Perbankan DN
PbLN = pembiayaan LN
PPLN = penerimaan pinjaman LN
PCPULN = pembayaran cicilan pokok
Utang luar Negeri
Prinsip Anggaran Dinamis
Ada anggaran dinamis absolut
dan anggaran dinamis relatif. Anggaran dikatakan bersifat dinamis absolut
apabila TP dari tahun ke tahun terus meningkat. Anggaran bersifat dinamis
relatif apabila prosentase kenaikan TP (TP) terus meningkat atau prosentase
ketergantungan pembiayaan pembangunan dari pinjaman luar negeri terus menurun.
Anggaran dinamis relatif dapat
dihitung dengan cara :
(1) Prosentase perubahan TP (TP)
TPx - TP(x-1)
TP =
---------------------- . 100%
TP(x-1)
(2) Prosentase Ketergantungan Pembiayaan
BLN
Bi =
-------------- . 100%
Keterangan :
TPz
= tabungan pemerintah tahun x
TP(x-1)
= tabungan pemerintah tahun sebelumnya
B1
= tingkat ketergantungan pembiayaan dari bantuan LN
Prinsip Anggaran Fungsional
Anggaran fungsional berarti
bahwa bantuan/ pinjaman LN hanya berfungsi untuk membiayai anggaran belanja
pembangunan (pengeluaran pembangunan) dan bukan untuk membiayai anggaran
belanja rutin. Prinsip ini sesuai dengan azas “bantuan luar negeri hanya
sebagai pelengkap” dalam pembiayaan pembangunan. Artinya semakin kecil
sumbangan bantuan/ pinjaman luar negeri terhadap pembiayaan anggaran
pembangunan, maka makin besar fungsionalitas anggaran.
Di sini perlu kiranya diberi
tolok ukur kuantitatif untuk menentukann sampai seberapa jauh makna kata
“sebagai pelengkap” misalnya :
1) Bila
nilai Ri : > 50% = bantuan/pinjaman luar negeri sebagai
sumber daya utama
2) Bila
nilai Ri : 20% - 50% = bantuan/ pinjaman luar negeri sebagai
sumber dana penting.
3) Bila
nilai Ri : < 20% = bantuan/ pinjaman luar negeri sebagai
sumber dana pelengkap
Sumber :
http://capucinoman.blogspot.com/2018/01/fungsi-dan-peran-apbn.html